Tuesday 29 November 2022

Sejarah Kemerdekaan Papua Barat

 

Sejarah Kemerdekaan Papua Barat

Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.

Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

1.Menetukan nama Negara : Papua Barat

2.Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua

3.Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora

4.Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.

Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.

Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. 

Friday 18 November 2022

Dampak (KTT G20)

 


G20 dibentuk pada tahun 1999 dan pada awalnya merupakan pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dalam upaya menyelesaikan krisis ekonomi dan keuangan global.


Pada tahun 2009, tujuan G20 dirumuskan lebih jelas, yaitu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan seimbang. G20 memiliki tanggung jawab untuk mengoordinasikan kebijakannya dan menghasilkan kesepakatan politik yang diperlukan untuk mengatasi tantangan saling ketergantungan ekonomi global.


Berbagai pertemuan G20 mengedepankan dialog untuk menyelesaikan tantangan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global, antara lain meliputi isu keuangan, perdagangan, infrastruktur dan investasi, energi, ketenagakerjaan, pemberantasan korupsi, pembangunan, pertanian, dan teknologi, inovasi, dan ekonomi digital.


Rancangan yang di buat oleh President Ir. Joko widodo. Mengenai KTT G20 adalah memperkenalkan negara Indonesia kepada luar negeri, bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang mempunyai keanekaragaman yang luas dan manusia bersosialis toleran. 

 

Yang patut dipertanyakan adalah, 

°Membangun pertumbuhan ekonomi global bagaimana sedangkan dalam negeri saja ekonomi masih buruk. 

°Membangun infrastruktur global mana sedangkan masing" provinsi belum mendapat fasilitas yang layak. 

°pemberantas korupsi mana sedangkan Indonesia adalah rumahnya koruptor. 

°Teknologi dan innovative masih minim disetiap sudut perkampungan. 


Mengenai sumberdaya alam, Papua adalah dapurnya dan Kalimantan kedua luasnya. SDA Kalimantan sedikit lagi habis karena banyak exploitasi. 


Ada 65 negara yang mengadakan G20 di bali dengan tujuan berinvestasi sumberdaya alam . 


Yang patut dipertanyakan adalah sumberdaya alam mana? 

yang jelas Papua. 


jokowi sengaja memekarkan 3 provinsi dengan tujuan untuk mengkerok sumber material di setiap tempat yang sudah ditandai. 


Dan ia memperalatkan setiap elit politik lokal untuk mencuri hati rakyat dengan otonomi khusus cuma". Dan membuka ruang untuk penerima ASN tanpa test, khusus OAP(orang asli Papua). 


Dengan itu masyarakat bangga terhadapnya. Supaya rencana G20 itu lancar tanpa problems. 


Orang asli Papua akan habis dan terlantar ketika kapitalis masuk menginjak-nginjak martabat orang asli Papua. Melanesia tinggal nama seperti aborigin.


Rakyat harus sadar dan lawan.. . . 


🥀


Thursday 18 August 2022

Melawan lupa; 3 tahun rasisme 19 Agustus 2019-19 Agustus 2022

 PERNYATAAN SIKAP !!

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) Komite Kota Malang


Salam Pembebasan Nasional Papua Barat

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabe Mufa, Wainambe, Walak, Foi Moi, Acemo, Nayaklak wa wa wa wa wa


Perjuangan rakyat Papua Barat dalam hak penentuan nasib sendiri merupakan proses yang telah diperjuangkan oleh Masyarakat Papua Barat. Sebuah manifesto kemerdekaan telah berevolusi sejak perjuangan Hak Penentuan Nasib Sendiri menjadi konsep dasar di bawah panji perjuangan rakyat Papua Barat. Sejak Manifesto dan revolusi rakyat Papua Barat pada 01 Desember 1961 merupakan konstitusi perjuangan rakyat Papua Barat yang telah merdeka sama seperti bangsa-bangsa lain di belahan bumi. Namun, Bangsa Papua Barat tersebut diperhadapkan dengan beragam perjanjian-perjanjian yang tidak melibatkan rakyat Papua Barat satu pun. Perjanjian sepihak itulah, tanah dan rakyat bangsa Papua Barat yang telah merdeka dijadikan sebagai alat ekonomi politik oleh negara penguasa di antaranya, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat sehingga menghasilkan pengalihan kekuasaan bangsa Papua Barat ke Indonesia tanpa Hukum Internasional yang jelas dan meredam kemerdekaan sejati-nya Rakyat West Papua.


Rakyat Papua Barat, masih beranggapan bahwa perjuangan dalam Hak Penentuan Nasib Sendiri telah menjadi bagian yang melakat untuk terus diperjuangkan dalam merebut Hak Penentuan Nasib Sendiri menjadikan hak aspirasi dan hak tuntutan untuk menuntut bahwa mengapa dengan sepihak Bangsa Papua Barat diAneksasi atau dipaksa memasukan Papua Barat ke Indonesia? Padahal, Rakyat Papua Barat telah Menentukan Nasib Sendiri sama seperti bangsa-bangsa lain. Apakah memang bangsa Papua Barat dijadikan seperti itu? Dan mengapa Bangsa Papua Barat yang merdeka lalu Amerika Serikat, Indonesia,dan Belanda serta termasuk PBB atau UNTEA mengambil alih untuk menggagalkan negara Papua Barat? Apakah itu sah? .Juga, Mengapa Indonesia menjajah Rakyat Papua Barat yang kini telah 60-an Tahun dengan gaya dan system serta militernya yang ganas? Serta mengapa perusahan-perusahan multi Internasional dapat beroperasi dan menjadikan ladang bisnisnya di Papua Barat?


Bangsa yang pernah merdeka adalah bangsa yang telah deklarasikan untuk menjadi sebuah negara. Dan Memiliki alat-alat kebangsaan dan Ideologi seperti, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan, Symbol Kenegaraan, Mata Uang, Bahasa dan batas wilayah serta system pemerintahan. Maka, Deklarasi 01 Desember 1961 rakyat bangas Papua Barat merupakan kenegaraan yang sah, sama seperti negara-negara lainnya. Konsep kenegaran yang telah merdeka tidak perlu memperdebatkan untuk menggagalkan atau integrasikan dengan wilayah lain. Maka, Ketidakadilan, Ketidakwenangan yang dilakukan merupakan kondisi yang tidak manusiawi atas rakyat Papua Barat; ap lagi jika Hukum Internasioal telah salah dalam menangani hak Penentuan nasib sendiri. Dari deretan sejarah bahwa gugusan pulau Papua dari Sorong sampai Samarai terbagi menjadi dua bagian: Bagian pertama Papua Timur adalah PNG yang telah merdeka sejak 16 September 1975 dari pemerintah Australia dan bagian kedua, Papua Barat merupakan dearah yang telah deklarasikan kemerdekaan sejak 01 Desember 1961. Namun kini Papua Barat tergolong dalam penjajahan Indonesia karena sejak 01 Mei 1963 secara dianeksai bangsa Papua Barat dimasukan ke dalam system Indonesia tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat.


Maka, hal yang paling wajar dijelaskan atau diuraikan bahwa mulai dari deklarasi Papua Barat hingga pada Ilegal Tranfer yang dilakukan oleh UNTEA melalui beberapa kesapakan yakni New York Agreement, 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement, 30 September 1962 yang pada akhirnya meresahkan rakyat Papua Barat dari Ilegal Transfer itu. Sehingga tidak ada tuntutan rakyat Papua Barat atau kemauan rakyat Papua Barat untuk menyatakan hidup bersama Indonesia. Tetapi Ilegal Transfer atau Aneksasi adalah sepihak. Dalam Melihat kondisi seperti ini, merunjuk pada intisari proses Aneksasi yang gagal hukum tersebut dan pada akhirnya menimbulkan Indonesia menjajah bangsa Papua Barat dengan gaya Indonesia tersendiri.

Pada momentum hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Bangsa West Papua menetapkan tanggal 17 Agustus sebagai hari memperingati Rasisme sebagaimana yang telah kita saksikan di Surabaya pada tahun 2019 lalu. 17 Agustus akan terus diperingati sebagai bentuk protes terhadap Negara yang belum pernah selesaikan persoalan Diskriminasi Rasial dan Kemanusiaan yang terus mengurangi populasi Manusia Papua.


Gerakan rakyat Papua melawan Rasisme ini terjadi di 23 kota di West Papua, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri sejak 19 Agustus 2019 lalu. Tiga tuntutan utama adalah mengutuk rasisme, mengadili pelaku insiden rasisme di Jawa dan menuntut hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua melalui referendum kemerdekaan. 


Pemicu protes besar-besaran tersebut adalah persekusi rasis terhadap mahasiswa West Papua di beberapa kota di Indonesia. Secara berurutan persekusi itu terjadi di Malang pada 15 Agustus 2019, di Surabaya pada 16 dan 17 Agustus 2019, serta di Semarang pada 18 Agustus 2019. Namun pemicu utamanya adalah insiden di Surabaya yang mana beberapa anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) berulang kali meneriakkan kata “monyet” kepada para mahasiswa. Kata “monyet” belakangan direbut kembali oleh gerakan dan menjadi simbol resistensi Gerakan Rakyat Papua Melawan Rasisme, serta masih banyak digunakan hingga hari ini. Hingga Pada tahun 2022 ini, banyak orang West Papua memperingati 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia, sebagai Hari Anti-Rasisme Nasional. 


Dan jika kita lihat watak negara dalam kasus ini, justru negaralah yang memiliki watak rasis. Misalnya, lima tentara yang melakukan tindakan rasis terhadap mahasiswa West Papua di Surabaya hanya diskors. Hanya satu dari lima tentara itu yang pernah diadili di pengadilan militer. Sersan Dua Unang Rohana dinyatakan bersalah karena tidak mematuhi perintah (indisipliner), bukan karena ujaran kebencian, dan hanya dijatuhi hukuman masa percobaan selama dua bulan, artinya ia tidak masuk penjara. Tidak satu pun anggota polisi yang dihukum atas tindakan mereka yang tidak proporsional terhadap para mahasiswa.  


Sedangkan rakyat Papua yang melakukan protes atas tindakan rasisme itu, justru ditangkap, dipersekusi, dipenjarakan bahkan ditembak dengan alasan yang tidak mendasar. Sejumlah aktivis ditangkap, termasuk dengan Victor Yeimo yang hingga kini masih dalam tahanan. Artinya pelaku ujaran kebencian rasialis ini justru tidak diberi sanksi, sedangkan rakyat Papua yang merupakan korban rasisme ini, diberi sanksi seberat-beratnya. Ini menunjukan bahwa watak dari negara ini, adalah watak rasialis terhadap rakyat Papua. 


Sehingga Protes Rakyat Papua pada 17 Agustus ini adalah bentuk Pemberitahuan kepada seluruh Rakyat Indonesia bahwa Rakyat Papua sebagai korban Diskriminasi Rasial belum mendapatkan keadilan dari konstitusi RI. Keberadaan Victor Yeimo dan tahapan politik lainnya di penjara adalah bukti bahwa, hukum di Negara ini belum menjamin keadilan bagi Rakyat Papua. Jadi aksi pada tanggal 17 Agustus ini bukan untuk mengganggu kemerdekaan bangsa Indonesia, tapi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa, ada pelanggaran HAM dan persoalan Diskriminasi yang belum diselesaikan oleh pemerintah Indonesia.


Oleh sebab itu, kami yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Malang dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap dengan tegas:

1. Mengugat! New York Agremeent 15 agustus 1962

2. Indonesia, Belanda, Amerika dan Pbb segera bertangung jawab atas kesepakatan

ilegal

3. Cabut Tolak Otsus Jilid II

4. Tolak 3 Daerah otonomi Baru (DOB)

5. Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan Non-Organik dari Seluruh Tanah Papua Sebagai

Syarat Damai.

6. Tutup Freeport, BP LNG Tangguh, MNC, dan yang Lainnya, yang Merupakan Dalang

Kejahatan Kemanusiaan di atas Tanah Papua.

7. Indonesia, Belanda, Amereika Serikat Harus Bertanggung Jawab atas Penjajahan dan

pelanggaran HAM yang Terus Terjadi terhadap Bangsa West Papua

8. Demiliterisasi West Papua.

9. Buka akses Jurnalis Internasional dan Nasional ke West Papua.

10. Bebaskan Victor Yeimo, Alpius wonda dan seluruh tahanan politik Papua

11. Hentikan Rasisme terhadap Rakyat papua

12. Stop teror, intimidasi dan kriminalisasi Mahasiswa Papua, Aktivis Ham, PRODEM

dan seluruh aktivis pembela kemanusiaan

13. Berikan Hak Menentukan Nasip Sendiri Sebagai Solusi Demokratis Bagi Bangsa

West Papua


Demikian pernyataan sikap ini, kami buat atas landasan tuntutan rakyat Papua sebagai bangsa tertindas, atas perjuangan dan solidaritas rakyat tertindas, kami ucapkan salam juang dan salam persatuan. 


Medan Juang, 17 Agustus 2022











Harapan dalam negeri

 Semua umat memiliki Keunikan tersendiri, yang di berikan oleh maha pencipta. Kadang manusia lupa akan itu, karena keasikan dengan dunianya sendiri. Hilang  kesadaran, dibutakan oleh kapitalis (pengikut Dajjal). Hancurlah humanity, karena berbeda ideologi. Seandainya aku hidup di abad pertengahan dan mempunyai pengetahuan seperti raja Salomo. Mungkin aku dan bangsa ku tidak ditindas seperti sekarang.



 





Saturday 23 July 2022

self-determination is unfair 1969

      Historical evidence through the inhumane 1969 presidential act which was ratified by the colonial state of Indonesia through the constitution of the court at the round table (UN). Arbitrarily for the benefit of the political elite.

       Indigenous Papuans were forced to agree to part of the sovereignty of the Republic of Indonesia. Even though the Papuans themselves do not want to be involved, however, the coercion was carried out by Indonesia by pointing a gun at the Papuans. 

       Some were intimidated, criminalized and discriminated against. Why were Papuans forced into the Unitary State of the Republic of Indonesia because, 1967 Indonesia had agreed to PT Freeport with America by ir. Soekarno previously. And Russia at that time had helped Indonesia but America was a nuisance country between countries. Why, until now Papua is difficult to separate from Indonesia because there is a big kitchen in Papua. 

       From 1961 the Papuans did not want to be with the puppet state, citing different races, culture, language and ethnicity. Papuans are the remaining negroid race in Asia Pacific. When Papuans have democracy they are always silenced by security forces on charges of opm, treason, separatism and terrorists.

       In fact, it can be said that this is a form of resentment from indigenous Papuans against colonial Indonesia because, as long as Indonesia and Papua, indigenous Papuans never get full rights as masters over their own land. 

        Papuans are immigrants who have no place to take shelter. The population of OAP during 1961 was around 8 million. Every year the graph of indigenous Papuans decreases due to murders, rapes, kidnappings secretly by BIN (Indonesian intelligence agency). 

        They aim to exploit natural resources and kill Papuans. Why, they want to kill us Papuans because they only want natural resources, not humans.

         Because Papua's natural resources are very fertile, there are many such as gold, copper, oil, aluminum etc. In 2001-2021 Otsus was ratified with the aim of prospering the Papuan people, but until now Otsus does not apply to indigenous Papuans but is a disaster for the Papuan people. Dob and Otsus are a relationship and the goal is the same.

Saturday 4 June 2022

PEACE DIALOGUE OF PAPUA STATUS, WHY IS IT REJECTED

                   PEACE DIALOGUE OF PAPUA STATUS, WHY IS IT REJECTED

2001 special autonomy, TNI-POLRI, racism, and injustice have become killing machines and extermination of indigenous Papuans in the modern era. This is corroborated by the existence of evidence and indicators of the failure of the 2001 special autonomy as well as the negative impact on the future of the indigenous Papuan population. We must admit honestly as people of faith in God and should give appreciation for the efforts and positive steps and good intentions made by several presidents of the Republic of Indonesia to resolve the Papua issue for the sake of creating permanent peace in the Land of Papua.

          Although it did not run smoothly according to expectations. Efforts and positive steps were resisted or rejected by hard-line groups. I borrowed what Mr. SBY said, ''There are hardliners who do not agree with peaceful dialogue with the Papuan people .''Prof. Dr. B.J.Habibie by opening a peaceful dialogue room equivalent to a team of 100 representatives of the Papuan people on February 26, 1999 at the State Palace of the Republic of Indonesia in Jakarta. The peaceful dialogue took place at the palace. However, there was no follow-up to the dialogue. Most likely there are those who disagree and hinder this noble mission so that there is no continuation. Apart from the above efforts, Abdurrahaman Wahid (more popularly Gus Dur) changed the name of Irian Jaya to Papua and allowed to fly the Morning Star flag. Gus Dur also provided financial assistance 1 billion for the Great Deliberation (MUBES) of the Papuan people on 23-26 February 2000. This is an extraordinary action and is appreciated by the Papuan people.

        H.Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, the sixth President of the Republic of Indonesia, once held a meeting with the leadership of the Ppua Church, Mrs. Pdt. Jemima M. Krey, pastor of Dr. Benny Giay, and Rev. Dr. Marthen Luther Wanma on December 16, 2011 in Cikeas. A meeting that is part of the good efforts of the Indonesian government. At least, that's how the people of Papua felt at that time. SBY said to church leaders, "Brothers and sisters, we need 5-7 exclusive meetings and we will hold inclusive meetings." -brother from Papua. However, there is a group of hardliners who do not agree with me and they put pressure on me.” On that occasion, Rev. Dr. Benny Giay asked Pak SBY, ''Sir. SBY, how many presidents are there in Indonesia?'' Apart from the good efforts of the presidents above, we must also admit that Pak Jokowi has done good things. President Joko Widodo in his policy of releasing political prisoners, announced that foreign media were allowed to visit Papua, expressed his willingness to resolve the case of 4 students who were shot by the TNI on December 8, 2014, and was also willing to have a dialogue with the leadership of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).   President Jokowi said there was no problem with his proposal to meet with pro-referendum figures in Papua. Pro-referendum figures such as the ULMWP. ''No problem, just meet anyway. I will meet with anyone if I really want to meet.'' (Bogor, 30/9/2019). Responding to the wise attitude of Ir. Joko Widodo, the president who opened the opportunity for a meeting with the chairman of the ULMWP, told CNN Indonesia Presidential Chief of Staff Moeldoko asked the chairman of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda to meet himself first before speaking with president Joko Widodo (Jokowi). '' Yes, before meeting Pak Jokowi, meet me first. It's just nice to meet the president directly.'' Pak Moeldoko conveyed that question at the Jakarta Presidential Palace complex, Thursday (10/10). Moeldoko's question can be read as described in the following statement by SBY. ''I as president have a wish good for the resolution of the Papuan problem by means of a peaceful dialogue with the Papuan brothers.

 

         However, there is a group of hardliners who disagree with me by pressuring me.''  Of course this requires solid evidence. However, this conjecture can be felt clearly when viewed in the context of the time. Seeing the situation above, Pastor Dr. Benny Giay to President SBY on December 16, 2011 is still relevant. ''How many presidents are there now in Indonesia apart from the President of the Republic of Indonesia, Ir. Joko Widodo? When was Mr. Moeldoko elected as president of the Republic of Indonesia by all the people of Indonesia?' The question was a form of astonishment at Mr. Moeldoko's attitude. Prof. Dr. B. J Habibie, H. Dr. Susilo Bambang Yudoyhono, Abdurhman Wahid (Gus Dur), and Ir.Joko Widodo have stated their policies and good intentions to resolve the root causes of Papua's problems.

        Their good intentions stem from the serious problems faced by the Indonesian people, namely the problem of human rights violations committed by the state which have chronic (chronic) and include the failure of Special Autonomy. How long will this last? Or how many presidents will this be resolved. Hopefully it's not like a humpback longing for the moon.


Friday 3 June 2022

The history of opm

The history of opm 

 

 

The name Free Papua Organization or OPM is the name given by the government of the Republic of Indonesia to every organization or faction both in Irian Jaya and abroad led by pro-West Papuan Irian Jaya sons with the aim of separating or liberating Irian Jaya (West Papua). ) separated from the Unitary State of the Republic of Indonesia. The name OPM was first introduced in Manokwari in 1964, when the security forces arrested the leader of the 'Organization and Struggle Towards West Papuan Independence' (OPMKPB), Terrianus Aronggear (SE) and his friends.
              The name also became increasingly popular when the armed rebellion led by Permenas Ferry Awom broke out in 1965 in Manokwari, as well as various rebellions or other military actions in various areas in Irian Jaya. In the process of examination by the military-police and prosecutors, the rebel leaders accepted the name OPM given by the examiner (Government of Indonesia) because according to them the name was short, and easy to remember and popularize when compared to the name of the organization they belonged to (Terrianus and his colleagues). friends shape) and give it long and hard to remember. Needs more in-depth research is the date of formation of the Free West Papua Organization (OPM). The date of the founding of the OPM which is well known is on July 26, 1965, while the author received new data about the process of the formation of the OPM, he conveyed to the author that the OPM was founded on December 25, 1964.
                On December 25, 1964, OPM was founded at the house of the Arfak Tribal Chief, Major Titular Lodewijk Mandacan and his younger brother Captain Titular Barens Mandacan in Fanindi, Manokwari. At that time the OPM had two wings, namely the military wing and the political wing. The military wing is led by Titular Lodewijk and the political wing is led by Terianus(Terry) Aronggear. So in the past, the OPM as the parent organization gave birth to the TPN-PB, TRWP, TPN, and TNP, which were the military wing of the West Papuan nation that used weapons to fight the Indonesian colonial nation. Meanwhile, the ULMWP is a political forum that struggles with lobbying and diplomacy without using weapons or a violent approach. The ULMWP was founded in Vanuatu, on December 7, 2014 which unites three main streams or West Papuan independence movements, namely the Federal Republic of West Papua (NRFPB), the West Papua National Liberation Coalition (WPNCL), and the West Papua National Parliament (NPWP).
            OPM is placed like a cruel organization and synonymous with violence, the designation is usually by TNI-POLRI officers or BIN (State Intelligence Agency). For reasons of political interest, even though OPM is a movement organization towards Free West Papua by military and diplomatic routes.

Pandangan politik dan ekonomi Papua

Kekuatan terbesar dalam perjuangan ada pada rakyat. Saya rasa perjuangan secara diplomasi sangat sulit karena ini bukan di era 60an,tapi sec...